Kelapa Muda Penyejuk Jiwa |
Banda
Aceh, beberapa pekan terakhir terasa panas membara. Menyusuri kota penuh
sejarah ini, tidak sore, tidak malam (apalagi siang), terasa begitu gerah
karena suhu udara yang tinggi.
Memang,
banyak warung kopi sebagai tempat rehat dan sekedar melepas dahaga. Tapi,
warung kopi hampir semuanya sama menu minumannya. Hanya beberapa warung kopi
yang tampil beda.
Kebetulan,
Sabtu Pekan lalu, bersama seorang teman, kami “jalan-jalan” ke kota. Semua
hanya untuk refreshing dan melepas penat setelah berkativitas. Tapi, “jalan-jalan”
itu tetap berkahir dengan penat karena panas.
Muter
sana sini mencari tempat berteduh. Banyak, sih. Tapi itu tadi, semua tempat
sudah sering dikunjungi dan menikmati berbagai menu yang ditawarkan. Akhirnya,
setelah berdiskusi kecil, kami memutuskan rehat di belakang Lapangan Blang
Padang, yaitu “pangkalan” kelapa muda.
Kami
pun segera meluncur ke lokasi yang kebetulan tidak jauh. Pilah-pilah tempat dan
akhirnya kami memilih duduk di kedai bagian tengah. Selain sepi, posisi
tersebut memiliki luas pandangan tak terbatas. Kami bisa melihat aktivitas
penjual kelapa muda lainnya dari tempat kami duduk. Benar saja, kami bisa
melihat semuanya.
Dulu,
kata teman saya, penjual kelapa muda di jalan belakang Blang Padang sangatlah
ramai. Tidka seperti saat ini. “Pasca tsunami semuanya berubah. Saat itu masih
ramai tapi beberapa tahun ke belakang semkain sedikit. Tidak tahu mengapa,”
ujar teman saya.
Menariknya,
kedai-kedai kelapa muda tersebut ternyata sudah berusia puluhan tahun. Bahkan,
sebagian besar pedagang saat ini merupakan anak atau cucu dari pedagang
sebelumnya. Istilahnya, mereka menjalankan bisnis jual kelapa muda secara turun
menurun.
Sepuluh
menit akhrinya dua gelas besar kelapa muda hadir di depan kami. Keringnya keorngkongan
membuat kami langsung menyeruputnya sambil menambahkan beberapa potong es batu
yang diletakkan secara terpisah pada piring kecil. Segarnya…… luar biasa…
Kembali
ke kedai-kedai kelapa muda. Menurut teman saya lagi, para pedagang di sini
masih terlalu tradisional. Belum ada keberanian tampil beda. Maksudnya tampil
beda yaitu pada menu kelapa muda tersebut. Jadi, setiap kita ke sana, pasti
hanya ada dua jenis minuman kelapa yang di tawarkan. Kelapa muda pakai sirup
atau kelapa muda pakai gula. Hanya itu saja.
“Padahal,
jika saja pemerintah lebih peduli dengan memberi pelatihan khusus terhadap pedagang di sini, tentu akan ada inovasi air kelapa muda yang lebih beragam. Dengan itu, pendapatan penjual bisa lebih baik,” sambung
teman saya.
Jika
dilihat-lihat, benar juga. Sejak pertama ke Banda Aceh pada tahun 2008 silam,
kondisi kios kelapa muda ini nyaris sama. Terbuat dari kayu dan terkesan di
pancang sesukanya saja. Begitu juga terpal pembatal yang robek dimana-mana,
terkesan tidak terawat dan asal jadi.
Tapi
begitu, walau pun terkesan kumuh diantara gedung-gedung mewah di sekelilingnya,
kios-kios itu tetap memberi kesna tersendiri. Seolah ia ingin berkata: “Kami
merupakan bagian dair perjalanan sejarah Banda Aceh. Dari awal hingga kini,
semuanya tetap sama dan dengan cara yang sama. Tentunya, menu yang juga sama”.
Bagi
Anda yang belum pernah ke Banda Aceh, bolehlah sekali-kali berkunjung ke sini untuk menikmati kuliner kelapa muda. Tepatnya
di ujung jalan Syam Muda Wali, Kota Banda Aceh.