468x60 Ads


Adat bak Poteu Meureuhôm, Hukôm bak Syiah Kuala, Kanun bak Putroe Phang, Reusam bak Lakseumana

Situs Spiritual di Tepi Pantai

Penziarah di Makam Syiah Kuala

Di Aceh, khususnya Kota Banda Aceh, ada beberapa situs spiritual yang dapat dikunjungi para wisatawan. Namun, dari beberapa situs sejarah, mungkin, hanya Makam Syiah Kuala yang memiliki daya tarik tersendiri.


Makam Syiah Kuala merupakan makam salah seorang ulama besar yang tidak hanya dikenal oleh masyarakat Aceh, melainkan juga di beberapa negara di Asia (bahkan dunia). Bernama asli  Syiekh Abdurrauf bin Ali Al-Fansuri, atau yang lebih dikenal dengan nama Teungku Syiah Kuala, Wafat pada usianya yang telah mencapai 105 tahun, tahun 1696. Tepatnya pada tanggal 23 Syawal 1106 Hijriah jika di hitung berdasarkan tahun Islam.
Hingga saat ini, banyak masyarakat menganggap makam Syiah Kuala merupakan tempat suci. Hal ini dibuktikan saat terjadi musibah gempa dan tsunami pada akhir 2004 silam. Makam ini tetap berada di posisinya dan selamat dari amukan air laut padahal posisinya berada di bibir pantai di desa Deyah Raya, Kecamatan Syiah Kuala, Kota Banda Aceh. Bahkan, beberapa warga mengaku, melihat makam ini terangkat ke udara saat air tumpah kedaratan.
Pemerintah kota Banda Aceh, pun telah menetapkan situs makam ini sebagai objek wisata spiritual di kota Banda Aceh, selain Mesjid Raya Baiturrahman.
Syaih Kuala merupakan sosok paling berjasa dalam penyebaran agama Islam di Aceh pada tahun 1001 Hijriah atau 1591 Masehi.
Salah satu mushalla di area makam
Peziarah tidak hanya dari Kota Banda Aceh dan sekitarnya, melainkan juga dari berbagai pelosok Indonesia, datang ke Makam Syiah Kuala. Termasuk para wisatawan dari manca Negara. Beberapa wisatawan Indonesia yang berkunjung ke Aceh, selalu menyempatkan diri datang dan berdoa di makam ini. 
Peringatan pengurus untuk tidak sholat di makam
Setiap pengunjung yang ke mari merasakan aura religi yang begitu besar. Apalagi setelah menunaikan shalat sunat dua rakaat di mushala yang terdapat di beberapa tempat dalam area makam. Karena itu, demi menjaga kesucian makam, pengelola telah mewanti-wanti pengunjung agar tidak berbuat hal yang melanggar aturan khususnya yang dilarang oleh agama. 
Saat ini, situs sejarah spiritual tersebut semakin menarik untuk dikunjungi. Areal bersih dengan lahan parkir yang luas, di tambah angin laut yang selalu menerpa penziarah, begitu terasa syahdu. Apalagi bila berziarah pada sore hari, maka suasana semakin terasa. Setelah berziarah, kita langsung bisa menikmati keindahan pantai dan dapat melihat langsung gugusan pulau Sabang yang berada di seberang lautan.
Nah, jika Anda tertarik untuk mengunjungi makam ini datanglah kapan saja, karena situs sejarah ini terbuka untuk umum. Yang pasti, area Makam Syiah Kuala akan menambah pengetahuan kita betapa besarnya perjuangan para ulama-ulama terdahulu dalam menyebarkan Islam. 

Penziarah mengambil wudhu 

Beberapa makam lainnya di Area Makam Syiah Kuala

Comments
0 Comments

Meresapi Sejarah di Blang Padang Banda Aceh


Wisata Sejarah Aceh, Mulailah dari Situs Blang Padang

***
Sejarah Aceh, sangatlah luas dan beragam. Tidak hanya “tegak” melawan penjajahan, melainkan juga kisah-kisah romantisme yang eksotik. Sejarah Aceh, tidak hanya terkenal dengan kekayaan alam yang  berlimpah, melainkan juga pelajaran-pelajaran religius yang telah mengaliri 
sebagian besar nusantara ini.

Sejarah Aceh, tidak hanya terpaut ribuan tahun silam, melainkan juga terjadi dalam kurun waktu yang bersamaan dengan kehidupan kita saat ini. Mulai dari konflik berdarah antara Pemerintah Aceh dan Indonesia, melainkan juga,
 sejarah bagaimana alam merenggut ratusan ribu jiwa orang Aceh.

Semua itu tidak pernah hilang dan lekang dari ingatan. Semuanya masih tersimpan rapi dalam hati dan jiwa masyarakat Aceh. Semuanya masih tersimpan di atas-atas tanah yang telah membisu. Walau begitu, dari kebisuan-kebisuan itulah, 
Aceh berjalan bersama retasan-retasan sejarah.

***

Duduk santai menikmati senja di Lapangan Blang Padang, ibarat menatap luasnya sejarah Aceh yang tak mampu ditelusuri seluruhnya. Lapangan seluas delapan hektar ini tak hanya menjadi saksi perjuangan bangsa Aceh, melainkan juga saksi betapa dahsyatnya tsunami yang melanda Aceh pada tahun 2004 silam.

Jerit tangis perjuangan seolah memanggil dari setiap sudut kota Banda Aceh. Jerit tangis akan perjuangan melawan penjajah Belanda dan jerit tangis perjuangan dalam mempertahankan hidup saat tsunami.

Sejarah itu seolah tetap bersuara, sebagaimana ratusan batu yang bertuliskan pada prasasti-prasati berbentuk perahu di berbagai sudut Blang Padang. Prasasti itu berupa ucapan terimakasih atas kesetiakawanan, kepedulian tanpa pamrih kepada Negara-negara yang telah berjasa membantu rehab rekons Aceh pasca tsunami.

Zaman dahulu, lapangan ini tidak lain sebuah lokasi persawahan rakyat. Sultan Iskandar Muda yang saat itu memimpin Kerajaan Aceh membeli lahan persawahan itu dan tidak lama setelah itu diwaqafkan kepada imam Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh.

Sebenarnya, Lapangan Blang Padang ini termasuk salah satu situs sejarah Aceh. Banyak kisah sejarah yang sudah terukir dari lapangan ini. Hanya saja, Lapangan Blang Padang bukanlah dibuat langsung oleh tangan manusia, sehingga terasa berbeda dengan situs-situs sejarah lainnya di Aceh.

Diakui, sore hari merupakan waktu yang paling tepat mengunjungi Blang Padang. Berbagai aktivitas warga dapat kita lihat langsung sambil duduk santai di bawah rimbunnya pohon, tak lupa pula, sambil menikmati jajanan yang di gelar masyarakat.
Saat duduk, coba perhatikan Lapangan Blang Padang secara seksama. Maka mata kita akan dapat langsung melihat monument pesawat Dakota Seulawah 001. Dalam sejarahnya, pesawat ini dibeli dari uang sumbangan rakyat Aceh dan menjadi cikal bakal berdirinya perusahaan penerbangan niaga pertama, Indonesian Airways.

Sejarah Aceh
Wisata Banda Aceh

Lalu, di trek lari selebar satu meter yang mengelilingi lapangan, kita juga dapat melihat prasasti berbentuk perahu. Itu merupakan prasasti “Thanks to the World”, yaitu sebuah bentuk ucapan terimakasih kepada Negara-negara yang sudah terlibat dalam program pemulihan Aceh setelah bencana.
Kita juga bisa melihat megahnya bangunan Museum Tsunami yang letaknya hanya di seberang jalan dari Blang Padang. Kita bisa melihat lebih dekat museum itu hanya dalam waktu lima menit dengan berjalan kaki.

Alangkah baiknya, untuk berkunjung ke museum itu, hendaknya kita datang pada pagi atau siang hari agar dapat memiliki waktu yang lebih banyak dan dapat melihat berbagai kegiatan yang ada di museum.



Sebenarnya, kita dapat mengunjungi sebagian besar peninggalan sejarah Aceh dari Blang Padang ini. Apalagi, berbagai situs sejarah di Kota Banda Aceh, letaknya sangat dekat bahkan bersebelahan dengan Blang Padang. Nyaris, kita hanya butuh waktu 10 sampai 20 menit sambil berjalan kaki. Ya, berjalan kaki.
Kota Banda Aceh dari Masa ke masa
Banda Aceh dari Masa ke Masa
.

Mulai dari Taman Sari, peninggalan sejarah Gunongan, Lonceng Cakra Donya, Taman Putroe Phang, Meuligo, Museum, Rumoh Aceh, hingga kuburan prajurit Belanda, Kerkhoff, semuanya dapat di tempuh dengan jalan kaki dari Blang Padang.

Mengunjungi berbagai situs yang saling berdekatan itu memang lebih menarik sambil berjalan kaki, apalagi jika kita datang dengan rombongan. Akan lebih terasa “ruh” situs-situs yang kita kunjungi. Karena, antara satu situs dengan situs lainnya –beberapa diantaranya--  memiliki histori yang saling terikat. Tidak berdiri sendiri.


Tourism Banda Aceh
Mudahnya menyusuri Situs sejarah dari Plang Padang
Kebetulan, di sekitaran Blang Padang juga terdapat beberapa hotel dan penginapan dengan layanan yang menarik, tentunya dengan harga yang terjangkau oleh kantong kita.

Serba komplit. Mulai dari beribadah di Mesjid Raya Baiturrahman, olah raga, menikmati kuliner, berbelanja suvenir di Pasar Aceh, mengunjungi situs sejarah, semuanya dapat kita lakukan dari Blang Padang. Tanpa sadar, kita pun dapat menghemat pengeluaran saat di Banda Aceh.

Sejarah Blang Padang Banda Aceh
Banda Aceh Tourism 
Kebetulan, sejak tahun 2011 lalu, Pemerintah Kota Banda Aceh melalui Dinas Pariwisata, telah banyak melakukan berbagai event budaya yang selama ini sudah jarang dilakukan oleh masyarakat Aceh. Jadi, kita tidak hanya dapat mengunjungi situs sejarah, melainkan juga dapat melihat langsung berbagai atraksi budaya yang sering –lagi-lagi-- di adakan di Blang Padang dan beberapa situs sejarah yang saling berdekatan.

Contohnya adalah Pagelaran Putroe Phang Art and Music Weekend Show. Kegiatan rutin ini dilaksanakan setiap akhir pekan dan dimulai dari pukul 16.15 sampai dengan 18.10 di Taman Putroe Phang. Jaraknya, hanya 15 menit jalan kaki dari Lapangan Blang Padang.

Nah, jika ingin berhemat pengeluaran saat melakukan kunjungan ke Kota Banda Aceh, mulailah dari Blang Padang. Selamat mencoba segala keragaman yang tersaji di sini.***











-------------------------------------------------------------------------------------------

Penggalan Sejarah Blang Padang


Pada masa kerajaan Aceh di pimpin oleh Sultan Iskandar Muda, saat itu, Lapangan Blang Padang merupakan areal persawahan rakyat. Lalu, Sultan mengambil alih dengan membeli lokasi persawahan tersebut. Tidak lama, karena, setelah itu Sultan Iskandar Muda mewakafkannya kepada imam Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh.

Mengapa Blang Padang di wakafkan kepada imam Mesjid Raya Baiturrahman? Dahulu, Sultan Iskandar Muda melihat jika Imam Masjid Raya tidak di gaji. Sedangkan satu sisi, seorang imam juga harus memenuhi kebutuhan keluarganya. Oleh sebab itu, wakaf ini tidak lain untuk di jadikan lahan sawah atau kebun untuk mencukupi kehidupan imam dan keluarganya. Jadi, secara histori, tanah ini merupakan tanah musara (wakaf).


Pada tahun 1800-an, petakan-petakan sawah Blang Padang ini ditimbun sehingga menjadi lapangan. Kemudian oleh Belanda Lapangan ini dimanfaatkan sebagai lapangan upacara dan berbagai kegiatan lainnya.

Bahkan, pada masa pimpinan Syamaun Gaharu dimana pada saat itu beliau merupakan seorang panglima daerah militer Aceh (KDMA), sebuah stadion di bangun di atas lapangan ini. Namun terpaksa dibongkar pada tahun 1891.

Penggalan-penggalan sejarah Blang Padang ini terpapar rapi dalam catatan K.F.H Van Langen. Sekitar tahun 1888, Van Langen mencatat bagaimana awal mula sejarah Blang Padang. Catatan-catatan itu pun akhirnya terangkum dalam sebuah buku yang berjudul; “De Inrichting van het Atjehsche Staats- bestuur onder het Sultanaat”. ***








.............................................................................................................
“Thanks to the World”


Bangsa Aceh adalah bangsa yang tidak pernah melupakan jasa siapa pun. Begitu pula terhadap para tamu yang datang membantu dan memulihkan kondisi Aceh. Khususnya, paska gempa dan tsunami Aceh pada 2004 silam.

Rasanya, ucapan terimakasih saja terasa tidak cukup. Karena, kehadiran sekitar 600 Non-Governmental Organizations (NGO) dari 34 negara, tidak hanya membantu memperbaiki dan membangun kembali Aceh yang telah porak poranda dalam bentuk materi (seperti bangunan dan fasilitas umum), melainkan juga terhadap psikologi para korban yang telah kehilangan keluarga dan harta benda.
.
Oleh sebab itu, tidaklah berlebihan jika Pemerintah Aceh membangun prasasti-prasasti ucapan terimakasih tersebut di berbagai sudut Lapangan Blang Padang, Banda Aceh.

Pada prasati “Thanks to the World” tersebut di tulis dalam tiga bahasa. Yaitu Bahasa Indonesia, Inggris dan bahasa masing-masing negara.

Kini, Blang Padang tidak hanya menjadi pusat aktivitas berbagai event besar di Aceh, melainkan juga menjadi salah satu jantung utama Kota Banda Aceh. Berbagai fasilitas olahraga, seperti Lapangan basket, Lapangan sepak bola, lintasan lari jarak pendek, telah menjadikan Blang Padang sebagai taman sejarah, pendidikan, olah raga dan wisata. Sebuah konsep komplit yang sangat menarik.

Berbagai aktivitas di sini tidak hanya pada sore hari saja, bahkan, pada pagi hari pun Lapangan Blang Padang tetap ramai dengan berbagai aktivitas. Mulai dari anak-anak sekolah, masyarakat umum yang berolah raga hingga para pelancong yang hendak melihat lebih dekat prasasti “Thanks to the World”.






Comments
0 Comments

Prasasti Kilometer Nol, Saksi Lahirnya Kota Banda Aceh


***
Di sinoe asai muasai mula jadi Kuta Banda Aceh, tempat geupeudong keurejeuen Aceh Darussalam le Soleutan Johansyah bak Uroe phon puasa Ramadhan thon 601 Hijriah
***
Angka 0 (Nol), sering ditandai sebagai awal mula kehidupan --pulai dari perhitungan, ukuran jarak perjalanan hingga usia manusia--. Begitulah Kutaradja (Sebelum bernama Banda Aceh) lahir hingga berusia 809 tahun.

Kelahirannya telah termaktub dalam kitab-kitab sejarah Aceh dengan berbagai dinamika. Peperangan, cinta, seni, agama, budaya, menjadi bukti Kota Banda Aceh merupakan pusat dari segala pergerakan sejarah di Aceh.

Awal kelahiran kota penuh sejarah, Banda Aceh, ini dapat kita lihat langsung di Gampong Pande, Kutaraja, Banda Aceh.  Sebuah prasasti setinggi 50 centimeter mencatat semuanya. Pada prasasti itu tertulis jelas kapan Banda Aceh lahir.

Pertanyaannya, mengapa dalam prasasti yang dibuat tahun 2012 tersebut mencantumkan nama Sultan Alaidin Johansyah sebagai pendiri Kota Banda Aceh? tentu sebuah pertanyaan bagi kita dan masyarakat umumnya, tidak terkecuali para wisatawan yang sudah dan hendak ke Banda Aceh.

Penabalan itu pastinya tidak diberikan sesukanya melalainkan karena bukti-bukti otentik perjalanan sejarah yaitu dari berbagai manuskrip-manuskrip kuno peninggalan Aceh.

Sekitar tahun 1059 – 1069 Masehi, Kerajaan Lamuri atau Indra Purba saat dipimpin oleh Maharaja Indra Sakti dan seluruh rakyatnya masuk Islam. Hal itu tidak lain karena jasa Syaikh Abdullah Kanan dari Kerajaan Peureulak. Peran Syaikh Abdullah sangat besar. Ia dan pasukannya membantu Indra Sakti dari serangan Kerajaan Tiongkok dari Cina.


Sebelum meninggal dunia, Indra Sakti telah menikahkan anak perempuannya dengan putra dari Adi Genali, raja Linge, Gayo. Yaitu Meurah Johan.

Akhirnya, Meurah Johan menjadi raja setelah Indra Sakti meninggal dunia. Ia pun memerintah kerajaan selama lebih kurang 30 tahun, sejak 601 Hijriah atau 1205 Masehi. Saat menjabat raja, Meurah Johan mendapat gelar Sultan Alaidin Johansyah.

Pada masa pemerintahannya, kerajaan Lamuri yang sudah menjadi kerajaan Islam, ibukota kerajaan berpindah ke pinggiran Krueng Aceh di Gampong Pande, kecamatan Kutaraja.

Namun begitu, walau menjadi raja di Kutaraja, Sultan Alaidin Johansyah setelah wafat ia dimakamkan di Gunong Drien, daerah Lambirah, Sibreh, Aceh Besar.

***
Disini cikal bakal Kota Banda Aceh, tempat awal mula Kerajaan Aceh Darussalam didirikan oleh Sultan Johansyah pada 1 Ramadhan 601 Hijriah atau 22 April 1205 Masehi
***
Selama ini, banyak masyarakat khususnya wisatawan hanya mengenal Kilometer Nol di Kota Sabang (Aceh) dan Merauke (Papua).

Memang banyak yang tidak mengetahui keberadaan Kilometer Nol Kota Banda Aceh. Padahal, prasasti ini merupakan napak tilas, bukan hanya sejarah Banda Aceh secara khusus, melainkan juga sejarah Aceh pada umumnya.

Nah, jika Anda masih penasaran, saat berada di Banda Aceh segera kunjungi Prasasti ini. Karena, kita tidak hanya berwisata tentang sejarah lahirnya Kota Banda Aceh, lokasi ini juga menjadi daerah wisata mancing yang sangat mengasyikkan. Karena lokasinya yang berada di pinggir Krueng Aceh yang langsung bermuara ke laut. Selamat berkunjung.***


Comments
0 Comments